Rudi Syaf: Sang Entrepreneur Sosial dari Jambi

0 comments

Rudi Syaf (Kiri)
Memperjuangkan hak kelola rakyat tak melelahkan Rudi Syaf. Pria paruh baya ini sudah sejak muda memang selalu menekuni dunia sosial dan advokasi masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan.
Bakat dan kemampuan Rudi di bidang ini sudah menonjol ketika masih berstatus mahasiswa. Kala masih menginjakkan tahun kedua kuliah, Rudi sudah mengorganisir kawan-kawannya untuk membangun kepedulian pada lingkungan dan masyarakat. Diawali dengan mendirikan Perkumpulan Gita Buana pada tahun 1987 hingga kemudian Warsi tahun 1991, dan sejumlah lembaga lainnya, untuk membela kepentingan masyarakat dan perlindungan kawasan hutan.
Di Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi), Rudi sudah dua periode menjabat sebagai direktur eksekutif. Bersama Warsi pula perjuangan ayah tiga anak ini terus berkembang. Diawali pada tahun 1997, Rudi dan kawan-kawannya di Warsi melihat telah terjadi ketidakseimbangan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini kemudian memiskinkan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, termasuk masyarakat adat, seperti komunitas Orang Rimba, Bathin IX dan Talang Mamak.
Bersama Warsi, dari penelitian dan analisis lapangan diketahui bahwa kehidupan suku-suku asli minoritas semakin terdesak akibat pola pembangunan yang diterapkan pemerintah. Sebagai contoh untuk Orang Rimba yang hidupnya sangat bergantung kepada hutan, tetapi hutan mereka dibabat dan digantikan dengan hutan monokultur, kebun sawit, transmigrasi. Akibatnya Orang Rimba tergusur dari tanah mereka sendiri.
Rudi dan kawan-kawan kemudian melakukan pendekatan pada Orang Rimba. Maklumlah pada saat itu Orang Rimba sangat marginal. Dia memilih menyisihkan separuh waktu di hidupnya dari komunitas dari luar mereka. Ketika hutan yang menjadi rumah mereka tergusur Orang Rimba memilih menghindar, namun kondisi ini tentu tidak bisa terus bertahan, karena lahan semakin sempit dan Orang Rimba semakin terjepit. Cukup panjang waktu yang dibutuhkan hingga kemudian Rudi dan Warsi bisa diterima Orang Rimba.
Kegiatan pertama yang Rudi lakukan adalah mengenali adat kebiasaan Orang Rimba untuk kemudian menemukan kebutuhan mendasar mereka, dari analisis dan kajian kita melihat bahwa ruang hidup Orang Rimba semakin sempit. Sedangkan penguasaan kawasan oleh korporasi meningkat drastis, Orang Rimba harus berjuang untuk mendapatkan haknya, jika tidak pada saatnya mereka akan kehilangan semuanya.
Seperti kawasan Hidup Orang Rimba di Bukit Duabelas, kala itu hutan dataran rendah di jantung Provinsi Jambi berstatus cagar Biosfir Bukit Duabelas dengan luas 37 ribu ha. Sedangkan di bagian utara kawasan telah diberikan izin konsesi untuk perusahaan HTI. Padahal di bagian utara ini juga terdapat komunitas Orang Rimba

Edited by Tundzirawati

Sumber:
http://news.detik.com/read/2012/04/04/165940/1885292/608/rudi-syaf-sang-entrepreneur-sosial-dari-jambi
http://sociopreneurugm.com/rudi-syaf-sang-entrepreneur-sosial-dari-jambi/

Mita Sirait : mengangkat ekonomi masyarakat dengan sampah

0 comments

Mita Sirait
Mulai dari masyarakat miskin di sekitarnya, Mita Sirait menyalurkan pengetahuan daur ulang sampah dan mengolahnya menjadi produk siap pakai bernilai tinggi. Tiga tahun berselang, keluarga-keluarga miskin pengolah sampah ini sudah bisa mencapai penghasilan dua kali lipat dari mulanya Rp 250.000 per kepala keluarga.
Tahun 2008, Mita Sirait mengumpulkan beberapa penduduk di Pondok Kelapa, Jakarta Timur di dekat rumahnya. Ia memberi pelatihan pengolahan sampah kepada penduduk miskin di Pondok Kelapa, mulai dari pemilihan sampah yang bisa didaur ulang hingga mengolahnya menjadi berbagai produk yang bernilai tinggi.
Mulai dari lingkungan sekitar rumah, Mita kini sudah membina lebih dari 300 kepala keluarga tak hanya di Jakarta, tapi juga di Tangerang dan Jawa Timur. Binaan ini memiliki tugas yang berbeda-beda, mulai dari mengumpulkan sampah, memilah antara sampah organik dan non-organik, hingga proses produksi menjadi barang siap pakai.
Lewat Komunitas Daur Ulang, Mita dan para mitranya menjual berbagai produk hasil limbah dengan harga antara Rp 15.000 hingga Rp 350.000 per unit. Produk yang paling digemari antara lain tas laptop dan tas sekolah. "Kami bisa melayani hingga 300 tas per bulan," kata perempuan kelahiran 16 Juli 1977 ini.
Keterlibatan Mita dalam pengolahan sampah sudah dimulai sejak lama. Setelah menamatkan kuliah dari jurusan Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, perempuan angkatan 1996 ini sem pat bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengembangan Anak di Bandung selama dua tahun. Di sini, ia sebenarnya sudah memiliki ketertarikan untuk menanggulangi permasalahan sampah yang juga menjadi masalah besar di Kota Kembang tersebut.
Mita meyakini permasalahan ini tidak bisa mengandalkan pihak pemerintah saja, melainkan harus ada keterlibatan dari level grass root atau masyarakat lapisan bawah. Dengan kerja sama pemerintah dan masyarakat, lambat laun pasti masalah sampah bakal teratasi.
Pada tahun 2006, ia memutuskan untuk bergabung dengan sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan, Emmanuel Foundation. Namun, pada tahun 2008, Mita memutuskan untuk lebih fokus pada sampah sedangkan lembaga tersebut tetap pada masalah lingkungan secara umum. Meski pun tidak berseberangan dengan LSM tersebut, Mita ingin lebih spesifik menggarap masalah sampah.
Ia pun mulai fokus mengembangkan para binaannya untuk serius mengelola sampah-sampah yang ada di sekitar mereka. "Saya ingin mereka bisa mandiri secara ekonomi sekaligus ikut menjaga kebersihan lingkungan," ujarnya.
Salah satu peristiwa yang membuat hati Mita miris adalah ketika ia melihat langsung kondisi penduduk di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang melakukan aktivitas dengan menggunakan air dari Sungai Cisadane yang kotor. "Mereka tidak mempunyai akses terhadap air bersih, padahal jaraknya tidak jauh dari gerbang internasional Jakarta," tambahnya.
Mita berpartisipasi aktif dari awal hingga akhir dalam proses pengolahan sampah plastik menjadi barang-barang dengan nilai ekonomi tinggi. Ia menyalurkan pengetahuan dan pelatihan berkenaan dengan jenis-jenis plastik, manfaat sampah, dan efek samping terhadap kehidupan. Mita pun menekankan pentingnya penggunaan air bersih dalam kehidupan sehari-hari.
Selain ikut dalam proses produksi, Mita juga membantu dalam interaksi dengan pasar hingga proses penjualan lewat berbagai relasi yang dimilikinya. Alhasil produk-produk mitra binaannya sudah sempat mencapai ekspor ke Amerika Serikat, Australia dan Malaysia.
Namun, karena adanya kebijakan program pengurangan emisi karbon, Mita memilih untuk memfokuskan penjualan produk-produk daur ulang binaannya ke dalam negeri saja. "Biar semakin populer dulu di dalam negeri," tegasnya.
Kemampuan Mita untuk mengembangkan masyarakat dengan bahan sampah tidak lepas dari bekal ilmu yang ia peroleh semasa duduk di bangku kuliah. Di jurusan geografi, Mita mengaku seperti memperoleh dua ilmu sekaligus yakni ilmu eksakta dan ilmu sosial. 
Ilmu eksakta berupa bagaimana mengenal alam beserta unsur-unsur pendukungnya sedangkan ilmu sosial mempelajari bagaimana berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Jadi ia bisa menggunakan kedua ilmunya untuk mengembangkan taraf hidup masyarakat dan pengelolaan lingkungan.
Kemampuannya untuk menjalin relasi bisnis dengan para pelanggan juga ia peroleh dari pengalaman berbisnis selama kuliah. Di Yogyakarta, sambil kuliah Mita membuka tiga gerai penjualan telepon seluler beserta aksesorinya. Mita saat itu sudah memiliki sembilan karyawan. Namun, karena ingin fokus menyelesaikan skripsi, ia memutuskan untuk meninggalkan usahanya tersebut.
Saat ini, Mita sudah memiliki lima pusat pengolahan sampah yang ada di Jakarta dan Tangerang. Dengan cara ini, Mita telah menciptakan sumber pendapatan baru.
Para keluarga yang tadinya hanya punya penghasilan Rp 250.000 sebulan, setelah mengikuti proyek daur ulang ini bisa mendapatkan penghasilan dua kali lipat. Pada saat yang sama, keluarga-keluarga itu dapat mengolah sampah dan hidup sehat dengan penggunaan air bersih.
Mita sering harus merogoh kocek sendiri untuk menutup pengeluaran. Beruntung ia juga bekerja sebagai konsultan independen di lembaga yang didirikannya, Water, Sanitation, Hygiene (WASH). "Untuk hasil maksimal, kami memang harus berkorban tenaga, pikiran dan uang," ujarnya tanpa mengeluh. 

Edited by: Yasmin Anwar

Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/mita-mengangkat-ekonomi-masyarakat-dengan-sampah-1 diakses 11 desember 2014 pukul 13:05

Rhenald Kasali: Wirausaha Sosial Bukan untuk Jadi Kaya

0 comments

Tujuan menjadi wirausaha sosial (social entrepreneur) adalah semata-mata bukan untuk menjadi kaya. Kewirausahaan sosial sejatinya adalah cara melatih kepekaan untuk berbagi terhadap sesama.
Rhenald Kasali
Menurut Rhenald, banyak orang bicara tentang wirausaha, namun mereka belum tentu paham. Saat ini banyak mentor bisnis yang mengajarkan kewirausahaan dengan cara cepat kaya. “Kaya adalah akibat, bukan tujuan. Kaya adalah hasil dari kerja keras kita. Tapi dalam kewirausahaan sosial, inovasi milik Steve Jobs dan Bill Gates digabung dengan kemurahan hati Bunda Theresa, kata Rhenald Kasali.
Padahal dalam kewirausahaan sosial ada beberapa hal yang menjadi pegangan yakni misi sosial, produk atau servis yang ditukar, dan keuntungan yang dicari didistribusikan bukan untuk kepentingan diri sendiri, serta harus dapat mempertanggungjawabkan terhadap apa yang disalurkan.
Menurut Rhenald Kasali, dalam kewirausahaan sosial, tidak hanya orang kaya yang bisa berbagi. Disini, orang miskin pun bisa berbagi.
Wirausaha sosial menjadi fenomena sangat menarik saat ini karena perbedaan-perbedaannya dengan wirausaha tradisional yang hanya fokus terhadap keuntungan materi dan kepuasan pelanggan, serta signifikansinya terhadap kehidupan masyarakat.
Wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar.
Sementara itu, Kukrit Suryo Wicaksono menyampaikan, seorang wirausaha harus belajar dari kegagalan. Karena itu butuh mental juara untuk menghadapi kegagalan agar tidak mudah putus asa. Gagal dalam dunia usaha itu biasa. Justru harus disyukuri. Modal utama mencapai kesuksesan adalah networking. Karena itu jalin networking seluas-luasnya.

Edited by Tundzirawati

Sumber:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/09/09/129438/Rhenald-Kasali-Wirausaha-Sosial-Bukan-untuk-Jadi-Kaya
http://sociopreneurugm.com/rhenald-kasali-wirausaha-sosial-bukan-untuk-jadi-kaya/