Susiawan : Pendidikan Alternatif untuk Anak dan Remaja Perkampungan

0 comments

Susiawan
Dia merintis dan mengembangkan konsep/metoda “Pendidikan Anak Merdeka” — suatu proses dialogis pengembangan kreativitas, kemandirian, kemasyarakatan, demokratisasi dan kemerdekaan — melalui pendekatan seni, lingkungan hidup dan kebudayaan lokal. Hasil riset aksi enam tahun itu ditulis dalam skripsi kesarjanaan FSRD-ITB: “Kemungkinan Konsep Senirupa sebagai Alat Pendidikan, Luar Sekolah untuk Anak-anak Perkampungan” (1986).Pada awalnya (1981) mendirikan “Kelompok Olah Seni Anak-anak Merdeka”. Lalu bersama rekan-rekannya melembagakan “Yayasan Anak Merdeka” (1987).
Pada tahun kedua “masa fellow Ashoka” (1989) merintis “Bengkel Kreatif” bagi remaja, dan mengawali kegiatan anak jalanan dengan majalah Anak Merdeka “Cakrawala Kecil”.1990-1995 melanjutkan riset aksinya dalam program “Anak Cinta Lingkungan” — membangun kurikulum dan berkegiatan bersama guru — guru SD/MI, anak-anak, remaja dan masyarakat di daerah perkotaan. Sebelumnya telah diujikan di beberapa desa di Sumatera dan Irian Jaya. Berbagai disiplin seni/kesenian dan budaya lokal diangkat sebagai katalisator pengembangan “seluruh potensi” anak.
Dalam satu tahapan proses tiga tahun, anak-anak/remaja mampu mempertajam “kemampuan nyata” mereka masing-masing.Sejak pertengahan 1995 tinggal di Kanada, berkeluarga. Mendalami “Integrated Arts” dan “Holistic Education” secara independen dan observasi ke berbagai sekolah alternatif. Ikut membangun “LSM Lingkungan”; bekerja untuk anak-anak golongan bawah sebagai “Integrated Arts Artist Facilitator” di Community Center dan organisasi sosial anak-anak internasional, serta mengadakan lokakarya-lokakarya “Expressive and Healing Art/ Art Therapy/ Integrated Arts” di rumah singgah, kelompok kegiatan pemuda maupun di pusat kegiatan kreatif anak-anak di Toronto. Merencanakan kembali ke tanah-air melanjutkan obsesinya: mengembangkan “Pendidikan Anak Merdeka”, dengan memusatkan energinya pada: — Membangun/mengembangkan kurikulum (kegiatan) pendidikan alternatif;
  • Mengadakan pelatihan calon/fasilitator/pendidik anak-anak dan remaja;
  • Merintis/mengembangkan pos-pos kegiatan anak-anak dan remaja bersama para fasilitator;
  • Mengadakan advokasi masalah hak-hak anak-anak dan remaja lewat aksi maupun penyebaran informasi;
  • Mengembangkan jaringan kerja antar LSM lokal,regional,nasional dan internasional, terutama yang berfokus pada masalah anak-anak dan remaja.

Edited by Lina Lisnawati

Gambar: http://www.ubudwritersfestival.com/writers/susiawan/

Sri Wahyaningsih : Pendidikan masyarakat pedesaan

0 comments

Lahir di Klaten, 19 Desember 1961. Wahya, lulusan Akademi Keuangan & Perbankan memulai pengalaman di dunia LSM sebagai tenaga organisator lapangan di LPM UKDW Yogyakarta, dengan pendampingan kelompok tunawisma sebagai salah satu program lapangannya. Di Indonesia, sistem pendidikan rancangan pemerintah yang terpusat di kota telah mengasingkan para siswa yang tinggal di daerah pedesaan.
Kurikulum yang diterapkan yang sering tidak dapat diperoleh di daerah pedesaan, semakin mempertinggi nilai masyarakat dan kehidupan urban dimata mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Hal ini menyebabkan nilai-nilai yang mereka pegang teguh jatuh. Wahya melihat fenomena semacam ini di desanya, desa Lawen, Banjarnegara, di Jawa Tengah. Ia kemudian memperkenalkan suatu metoda pendidikan yang sangat berbeda dan bersifat partisipatif dengan menggabungkan ilmu membaca dengan pertistiwa-peristiwa terkini, keahlian, ilmu pengetahuan, dan seni.
Tahun 1988 Wahya ikut mendirikan Sanggar Anak Alam (SALAM) dengan basis kegiatan di desa Lawen, Banjarnegara. SALAM adalah salah satu media Wahya dalam mengimplementasi konsep ‘desa’ dan ‘alam semesta’ sebagai media belajar sekaligus sekolahan, dengan kelompok perempuan sebagai pelaku penting bagi pendidikan anak-anak.. Semua bahan pengajarannya berasal dari masalah-masalah dan situasi-situasi nyata ketika berhadapan dengan masyarakat; metode yang digunakannya dalam hal ini tidak hanya relevan melainkan juga menyenangkan. Para siswanya bekerjasama satu sama lain serta dengan para pengajar sukarela mereka. Proyek-proyek kelompok seperti pengembangbiakkan kelinci atau ternak mampu menciptakan penghasilan bagi para siswa sekolah tersebut dan meningkatkan rasa percaya diri mereka sehingga membuat mereka merasa betah dan dihargai oleh masyarakatnya dan memberi sumbangan pada peningkatan ekonomi desanya. Wahya, sebagai ketua RT 04 di kampung Lawen, mengembangkan Koperasi Karya Aji Nastiti yang bergerak di bidang simpan-pinjam. Dengan beranggotakan 60 orang yang 90% anggotanya adalah perempuan, Wahya mengembangkan pelatihan kompos organik yang bekerjasama dengan Yayasan Dian Desa (Yogyakarta). Dengan program ini diharapkan adanya peningkatan kualitas kebersihan lingkungan dan membuka lapangan kerja untuk masyarakat desa.

Edited by Lina Lisnawati

Gambar: http://www.tupperware.co.id/SheCan/Default.aspx?page=detailAlbum&album=335

Samsidar : Pejuang Perempuan Korban Konflik Aceh

0 comments

Samsidar
Samsidar membangun kembali jalinan komunitas di Aceh, saat anyaman sosial telah dirusak oleh 30 tahun konflik bersenjata, pemerintahan militer, dan bencana alam. Dia mengaitkan korban perempuan satu sama lain untuk mempromosikan penyembuhan, kemudian membantu mereka terhubung kembali dengan keluarga dan perempuan lain dalam komunitas seiring upaya membangun kembali kehidupan.
Samsidar percaya bahwa perempuan korban konflik dan bencana di Aceh memiliki kapasitas tidak hanya untuk bertahan hidup, melainkan untuk membangun kembali kehidupan mereka dan berhasil. Untuk melakukan hal tersebut, mereka harus mulai menyembuhkan diri secara individu maupun kolektif, mengembalikan kepercayaan, dan menumbuhkan kembali infrastruktur komunitas mereka. Samsidar membantu para perempuan merancang solusi bagi masalah yang diakibatkan oleh hilangnya dan terkikisnya kepercayaan sosial. Dia mulai dengan mengumpulkan kelompok perempuan yang paling rentan  — mereka yang tinggal dalam kamp pengungsi dan mengalami kekerasan domestik dan pelecehan seksual tingkat tinggi, seringkali yang dilakukan oleh polisi dan petugas militer. Para perempuan ini membagikan pengalaman mereka kepada kelompok sebaya, menyusun prioritas nilai dan kebutuhan mereka untuk pulih, dan menerima bantuan untuk menjangkau tujuan tersebut. Samsidar mengembangkan kelompok dukung sebaya yang membantu perempuan membangun rumah sementara, menjamin pendidikan bagi anak-anak mereka – yang kebanyakan putus sekolah – dan memulai mengalami pemulihan ekonomi. Samsidar menambahi sumber daya lokal dengan bantuan tepat sasaran dari para rekan di sektor warga.
Samsidar sadar bahwa para perempuan di kamp akan sangat terkuatkan oleh dukungan dari mereka yang belum kehilangan rumah atau mengalami kerusakan setara. Saat mantan tetangga berkumpul dan menemukan kembali kesamaan nilai, mereka yang lebih beruntung seringkali mulai mendokumentasikan tindakan brutal kalangan polisi dan militer yang dialami para saudari mereka. Samsidar mengembangkan kemampuan orang awam untuk menjadi perantara legal sebagai cara untuk melakukan lobi hak perempuan korban di tingkat legal. Bersama-sama mereka membangun kepercayaan, solidaritas, dan interdependensi.
Samsidar menambahkan upaya lokal untuk membangun jalinan komunitas dengan upaya membangun lembaga yang berkelanjutan untuk memengaruhi kebijakan nasional. Dia menghidupkan kembali lembaga lokal Brakalai Syura Ureng Inong Aceh, ruang publik tradisional untuk perempuan. Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan mengadopsi mekanisme berbasis korban yang diterapkannya untuk melaporkan dan mendokumentasikan pelanggaran hak sipil, dan mulai menyebarkan metoda ini ke daerah lain di Indonesia. Dia juga mengembangkan sistem referal sehingga polisi, organisasi warga, dan penyedia layanan kesehatan dapat berkoordinasi untuk memenuhi kebutuhan perempuan korban.
Selain perempuan korban, yang tak kalah penting adalah sistem dukungan komunitas yang dicoba dibangun oleh Samsidar. Melalui RPUK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan), dia mengembangkan kegiatan relawan di antara aktivis hak perempuan dan korban perempuan sebagai kelompok dukungan sebaya. Untuk menyediakan dukungan kemanusiaan di daerah konflik, para relawan perempuan ini dilatih agar dapat berlaku adil melalui keterampilan fasilitasi dalam mendukung perempuan korban tanpa menumbuhkan ketergantungan. Di antara perempuan korban, sebagai pilihan lain, muncul juga kesepakatan untuk bekerja sama melalui kelompok simpan pinjam. Ratusan perempuan dari 5 daerah di seluruh Aceh bergabung dan bekerja dalam 7 kelompok. Seorang perempuan dapat memperoleh pinjaman untuk menjalankan usaha kecil yang diawasi oleh kelompok tersebut.
Dalam hal prosedur hukum, sementara orang lain berfokus pada pelanggar HAM, Samsidar berkonsentrasi pada perempuan korban dan cara masyarakat mendukung para korban ini. Bekerjasama dengan LBH APIK Aceh, tempat dia menjadi salah satu anggota Dewan Etik, Samsidar membangun dukungan berbasis komunitas dengan melatih paralegals. Dengan demikian Samsidar mengundang para keluarga korban untuk tidak menambah beban, melainkan menjadi pendukung internal. Dukungan komunitas, terutama dari kelompok perempuan, nyatanya merupakan dukungan terbesar yang diperlukan oleh korban dan keluarga. Untuk paralegal khusus, dia menyelenggarakan pelatihan dalam bidang prosedur litigasi, persiapan korban untuk dapat bicara di hadapan polisi, dukungan psikologis bagi individu, dan konseling kelompok. Kelompok perempuan ini kemudian menjadi sistem pendukung bagi perempuan korban untuk dapat pulih dari tekanan traumatis, meraih kekuatan tawar dalam proses negosiasi, dan meraih kembali kepercayaan diri dan kemerdekaan atas hak mereka menentukan masa depan sendiri.

Edited by : Lina Lisnawati

Sumber: http://indonesia.ashokalab.org/fellow/samsidar