Chamsiah Djamal Tristian (alm) : Pengembangan Ekonomi Kelompok Perempuan

0 comments

Chamsiah Djamal Tristian (alm)
Chamsiah lahir di Takengon, Aceh Utara, 9 Juni 1954. Ikut mendirikan dan menjadi Ketua Pusat Pengembangan Sumberdaya perempuan (PPSW), Jakarta, tahun 1985. Program “Sosialisasi Situasi Perempuan” dengan kegiatan utamanya menerbitkan publikasi serial tentang berbagai pekerjaan perempuan dari lapis ekonomi bawah, adalah fokus aktivitasnya untuk waktu yang cukup lama. Chamsiah kemudian menjadi Direktur Pelaksana PINBUK. Sekarang lebih mencurahkan waktu untuk program pemberdayaan perempuan lapis bawah melalui kegiatan mikro usaha, terutama melalui LSM PALUMA. Chamsiah bergabung sebagai Fellow Ashoka tahun 1988.

Edited by : Lina Lisnawati 

Tom Kosnik, dari Universitas Stanford berbicara Kewirausahaan Sosial

0 comments

Sebuah organisasi inkubator wirausaha sosial pemula, UnLtd Indonesia bekerja sama dengan GETIT, Inc., Selasa (16/9/2014) lalu bertempat di @america menyelenggarakan diskusi edukatif tentang pentingnya pengembangan kewirausahaan sosial dalam membangun masyarakat serta komunitas yang mandiri secara sosial ekonomi dengan menghadirkan salah satu tokoh dari Universitas Stanford, Tom Kosnik, sebagai pembicara utamanya.
Edukasi tentang kewirausahaan sosial yang disampaikan oleh Tom Kosnik juga selaras dengan ide serta gagasan yang terkaji melalui buku terbarunya Gear Up, Test Your Business Model Potential and Plan Your Path to Success yang mulai dipasarkan di Indonesia.
Romy Cahyadi, Direktur Eksekutif UnLtd Indonesia dalam siaran persnya mengatakan, “Kewirausahaan sosial atau yang dikenal masyarakat global sebagai social entrepreneurship masih menjadi istilah baru di Indonesia walaupun sudah sejak lama ada di Nusantara. Di beberapa negara, program-program kewirausahaan sosial yang digulirkan telah berdampak nyata terhadap terbangunnya masyarakat yang berdaya dan mandiri secara sosial ekonomi. Menimbang di Indonesia masih terdapat banyak kelompok masyarakat yang masih belum mampu untuk mandiri dan bahkan termarjinalkan, kami ingin menyerukan kepada masyarakat, khususnya para wirausahawan dan pimpinan korporasi untuk mulai menjadikan pengembangan kewirausahaan sosial sebagai program prioritas mereka dalam menyebarkan nilai manfaat dari bisnis yang mereka kembangkan sekaligus pembangunan reputasi perusahaan.”
Romy menambahkan, keberhasilan kewirausahaan sosial tidak saja berdampak positif terhadap profit, namun juga terbangunnya mental dan kehidupan sosial masyarakat yang mapan, mandiri dan berdaya.
Ditambah dengan semakin banyaknya pelaku bisnis, pelanggan, maupun anggota masyarakat umum yang semakin peduli terhadap lingkungan sekitarnya, maka sudah saatnya perusahaan-perusahaan ataupun korporasi untuk mempertimbangkan kegiatan pembangunan kewirausahaan sosial sebagai format baru program Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka jalankan secara berkesinambungan.
“Sebagai wujud dari komitmen kami dalam mengedukasi para pelaku bisnis ataupun korporasi terhadap pentingnya mendukung pembangunan masyarakat atau komunitas mandiri melalui kewirausahaan sosial yang efektif, kami menghadirkan pakar di bidangnya, Profesor Tom Kosnik dari Universitas Stanford untuk memberikan edukasi seputar bagaimana mengembangkan kewirausahaan sosial termasuk bagaimana menjadi social enterprise yang mampu menjalankan program-programnya secara strategis,” kata Romy.
Gear Up, Test Your Business Model Potential and Plan Your Path to Success yang ditulis oleh Tom Kosnik sejatinya adalah panduan bagi wirausahawan maupun pimpinan perusahaan yang ingin mendapatkan dan mewujudkan peluang-peluang bisnisnya, serta semakin mengembangkan usaha yang telah mereka jalankan.
Gear Up tidak menawarkan solusi untuk mengatasi permasalahan yang spesifik. Namun lebih dari itu, Gear Up adalah kerangka kerja untuk mengaji beragam kebutuhan dari berbagai situasi, serta menawarkan ide-ide serta gagasan strategis yang mampu menjawab kebutuhan spesifik individu,” ujar Tom Kosnik.
“Jadikan buku ini sebagai personal trainer bagi para wirausahawan maupun pemimpin perusahaan, baik perusahaan kecil maupun besar, agar mampu membuat program-program yang tepat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan pada akhirnya mampu memberikan nilai-nilai yang menguntungkan bagi mereka – baik dari sudut pandang relationship, reputasi, pengembangan sumber daya, waktu maupun materi.”
Diharapkan dari ide dan gagasan yang disampaikan Tom Kosnik melalui Gear Up, para wirausahawan ataupun pemimpin perusahaan dapat terbangun pemahamannya mengenai penerapan program-program strategis secara berkelanjutan yang tidak saja mampu membangun reputasi organisasi dan pengembangan peluang bisnis baru, namun juga dapat menyebarkan manfaat bagi masyakarat sekitar melalui kewirausahaan sosial yang semakin berkembang dan menguat.

By : Anis Soraya

Sumber : http://seputaraceh.com/read/21849/2014/09/19/tom-kosnik-dari-universitas-stanford-bicara-soal-kewirausahaan-sosial
Gambar : http://seputaraceh.com/read/21849/2014/09/19/tom-kosnik-dari-universitas-stanford-bicara-soal-kewirausahaan-sosial/tom-kosnik-saat-mempresentasikan-buku-gear-up-di-america

Kewirausahaan Sosial: Solusi Kemiskinan di Indonesia

0 comments

02 September 2013 | 23:30

Kondisi perekonomian nasional dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan  yang berarti. Bahkan, di tengah laju perlambatan ekonomi, ekonomi dunia dan disaat negara lain mengalami resesi ekonomi akibat krisis ekonomi global yang diawali di Amerika Serikat dan menjalar ke Eropa, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 4 tahun terakhir terus berada di angka 6 % per tahun.
Pertumbuhan ekonomi yang besar tersebut, tidak lepas dari daya beli konsumsi dalam negeri yang besar dan jumlah masyarakat berpenghasilan menengah yang semakin meningkat. Melalui pendapatan masyarakat yang besar tersebut, tentunya menjadi potensi tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya, maupun masyarakat umum yang mulai banyak yang melirik peluang berusaha.
Melihat tren yang ada, tercipta penurunan jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin setiap tahunnya. Namun demikian, penurunan yang terjadi berjalan lambat. Salah satu penyebabnya adalah geliat kewirausahaan yang kurang memiliki kebermanfaatan dan nilai sosial bagi masyarakat banyak. Kewirausahaan yang berjalan selama ini hanya mampu menciptakan lapangan kerja dan menciptakan hubungan dua arah (pengusaha dan pekerja). Masyarakat hanya sekedar menjadi objek menjadi pelanggan atau konsumen.

Kewirausahaan Sosial Sebagai Sosial
Kewirausahaan sosial dinilai sebagai solusi dalam upaya mempercepat penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Hal ini tak lain karena kewirausahaan sosial menawarkan kelebihan manfaat dari sekedar menciptakan lapangan kerja. Kewirausahaan sosial memiliki kebermanfaatan yang luas karena wirausahawan bukan hanya berhadapan kepada karyawan yang menjadi mitra kerja tetapi juga masyarakat luas.
Kewirausahaan Sosial atau Social Enterpreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Orang yang bergerak di bidang kewirausahaan sosial disebut Social Entrepreneur. Santosa (2007) mendefinisikan Social enterpreneur sebagai seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan kewirausahaan untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (education and health care).
Kewirausahaan sosial menitikberatkan usahanya sejak awal dengan melibatkan masyarakat dengan memberdayakan masyarakat kurang mampu secara finansial maupun keterampilan untuk secara bersama-sama menggerakkan usahanya agar menghasilkan keuntungan, dan kemudian hasil usaha atau keuntungannya dikembalikan kembali ke masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya. Melalui metode tersebut, kewirausahaan sosial bukan hanya mampu menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi juga menciptakan multiplier effect untuk menggerakkan roda perekonomian, dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Geliat Kewirausahaan Sosial
Seorang social enterpreneur adalah seseorang yang cakap dalam melihat tantangan sebagai peluang, melihat sampah menjadi uang, dan melihat masyarakat sebagai subjek bukan objek dari usahanya. Masyarakat berperan sebagai mitra strategis usahanya, bukan sekedar sebagai pelanggan atau konsumen. Pola yang terjadi dalam kewirausahaan sosial adalah antara pengusaha – pekerja – masyarakat. Ketiganya bersinergi dalam membentuk simbiosis mutualisme. Dampaknya adalah kesejahteraan, keadilan sosial dan pemerataan pendapatan.
Meski terbilang baru, namun geliat kewirausahaan sosial kini sudah menjadi tren baru di kehidupan masyarakat global, tak terkecuali di Indonesia. Penyebab kepopulerannya tak lain adalah keberhasilan tokoh kewirausahaan sosial Muhammad Yunus menjadi pemenang nobel perdamaian pada tahun 2006. Kepiawaiannya dalam mengelola Grameen Bank dan memberdayakan masyarakat miskin di Bangladesh telah membuka jutaan mata masyarakat global akan arti penting kewirausahaan sosial. Muhammad Yunus dinilai mampu memberdayakan masyarakat miskin melalui pinjaman tanpa jaminan. Yang dikembangkan Grameen bank adalah dengan memberdayakan masyarakat kurang mampu secara finansial. Dampaknya, ribuan tenaga kerja mampu terserap, dan jutaan lainnya merasakan dampak tidak langsung sehingga terjadi multiplier effect ekonomi dengan tumbuhnya Usaha Kecil Menengah Baru (UKM).
Di Indonesia, kewirausahaan sosial dimotori oleh Bambang Ismawan, pendiri Yayasan Bina Swadaya. Bambang Ismawan mendirikan sebuah yayasan yang semula bernama Yayasan Sosial Tani Membangun bersama I Sayogo dan Ir Suradiman tahun 1967. Upaya yang dilakukannya melalui pemberdayaan masyarakat miskin melalui kegiatan micro finance (keuangan mikro) dan micro enterprise (usaha mikro) dengan mengutamakan pendidikan anggota, memupuk kemampuan diri dan sosial. Kiprah Yayasan Bina Swadaya yang sudah berdiri lebih dari 40 tahun tidak diragukan lagi.
Selain Yayasan Bina Swadaya, ada banyak organisasi atau perseorangan yang memiliki concern di bidang kewirausahaan sosial seperti; Erie Sudewo, dkk (Dompet Dhuafa), Tri Mumpuni, dkk (IBEKA),  Rhenald Kasali, dkk (Rumah Perubahan), Septi Peni Wulandani, dkk (Sinergi Kreatif), dan Yovita, dkk (Nalacity Foundation). Kesemuanya memiliki concern di bidang kewirausahaan sosial masing-masing dengan memberdayakan masyarakat melalui optimalisasi potensi lokal masyarakat yang diberdayakan.
Sebagai contoh Nalacity Foundation yang merupakan organisasi kewirausahaan sosial yang didirikan sebagai bentuk kepedulian kepada kaum marjinal ibu-ibu mantan penderita kusta di Sitanala, Tangerang. Nalacity memberdayakan masyarakat yang termarjinalkan tersebut untuk bisa menghasilkan kerajinan tangan berupa jilbab. Produknya akan dijual di Jakarta, dan keuntungan yang diperoleh akan digunakan kembali untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di Sitanala. Multiplier effect pun terjadi, ibu-ibu yang menjadi penerima manfaat program dari Nalacity ini meningkat pendapatannya. Merekapun bisa menghidupi keluarganya. Bahkan, kini mereka dapat menabung untuk memiliki usaha lainnya seperti; pertanian, peternakan, dan bisnis lainnya.
Chief Executive Officer (CEO) Nalacity Foundation Yovita Salysa Aulia mengatakan, jika menjadi pengusaha itu idaman banyak orang, akan lebih bijaksana jika usaha yang ditekuni dapat berdampak luas manfaatnya untuk masyarakat. Disitulah letak terpenting manfaat dari kewirausahaan sosial, karena kewirausahaan sosial bukan hanya sekedar mempekerjakan, tetapi memberdayakan.
Mengingat pentingnya kewirausahaan sosial, diharapkan dapat ditingkatkan kembali secara kuantitas maupun kualitas pengembangannya. Seiring makin bertambahnya perseorangan yang menjadi social enterpreneur, diharapkan kiprah kewirausahaan sosial dalam menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan, menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial dapat meningkat.

by : Danis Dea

Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2013/09/02/kewirausahaan-sosial-solusi-kemiskinan-di-indonesia--586150.html (Diakses Tanggal 30 November 2014, pukul 10.15 WIB)

Dina Ch. Lumbantobing - pembaruan budayaan melalui pendidikan pra-sekolah

0 comments

Dina Ch. Lumbatobing
Dina lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, 27 November 1957. Dina berusaha menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri masyarakat suku minoritas Pakpak Dairi di Sumatera Utara melalui program pembinaan anak-anak yang menggabungkan pendidikan pra-sekolah dan pendidikan tentang kebudayaan. Dia telah menyiapkan semacam Taman Kanak-kanak yang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pengenalan kebudayaan Pakpak.
Dalam wadah ini programnya secara ekstensif dilakukan untuk meningkatkan rasa bangga anak-anak terhadap kebudayaan mereka. Dina merangkul para ibu melalui anak-anak siswa sekolahnya dan menjadikannya semacam suatu akses untuk meningkatkan kepedulian terhadap budaya mereka serta membangun pengetahuan dasar tentang perawatan kesehatan. Dina berharap bahwa melalui peningkatan harga diri dan kualitas hidup masyarakat Pakpak ia akan dapat menolong mereka terbebas dari rasa lemah dan tidak berdaya yang terus membuat mereka miskin.
Organisasi yang didirikannya, YAYASAN SADA AHMO (YSA), menerbitkan buletin “Suara Perempuan” yang merupakan alat efektif untuk pendidikan politik bagi para perempuan Pakpak dan perempuan di Kabupaten Dairi pada umumnya. Sementara itu YSA telah meluaskan wilayah perhatiannya ke penguatan anak dan perempuan umumnya di Kabupaten Dairi melalui penitipan anak, Credit Union untuk perempuan, penyaluran kredit mikro, serta membantu pemasaran hasil produksi kelompok binaan di pedesaan, seperti: ulos Batak, bawang merah, dan kerajinan bambu dan rotan. Saat ini sedang disiapkan pilot project untuk menyelenggarakan perpustakaan khusus untuk anak di kota Sidikalang, penitipan anak dan bayi untuk pedagang pasar, serta kelompok ‘parengge-rengge’ (pedagang kecil berpindah yang ada di pasar).

Edited by : Lina Lisnawati